Kategori
Pendidikan

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN DI SEKOLAH

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEKERASAN DI SEKOLAH DENGAN OBJEK GURU DAN SISWA DALAM RUANG LINGKUP PENDIDIKAN

ISTIGHFARAH MARDIYANAH QADARISMAN

Jurusan Manajemen Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya

Abstrak

Karya ilmiah ini bertujuan untuk menampilkan hasil kajian pustaka mengenai faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan di sekolah. Pendidikan di sekolah yang dianggap sangat diperlukan untuk pengembangan diri, saat ini mengalami banyak permasalahan termasuk maraknya kekerasan yang terjadi di sekolah. Peran serta guru yang berfungsi untuk mengajari serta memberikan contoh yang baik kepada murid, justru menjadi bagian dari pelaku kekerasan terhadap siswa. Siswa yang seharusnya belajar berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sebagian lainnya justru melakukan tindak kekerasan terhadap temannya sendiri. Fungsi dari siaran televisi, radio, juga dari internet serta media komunikasi lainnya yang seharusnya mendukung pembelajaran siswa malah menampilkan bagaimana tindak kekerasan umum dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Maka sudah seharusnya pemerintah kembali mengevaluasi bagaimana kualitas pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya mengenai SDM yaitu guru dan tenaga kependidikan. Seorang guru haruslah mampu menjadi tauladan bagi siswa yang diajarnya karena mudah bagi siswa untuk meniru contoh perilaku orang-orang di sekitarnya. Akibat dari kekerasan ini juga berbahaya untuk perkembangan psikologis atau kejiwaannya seperti rasa trauma dan ketakutan yang berlebihan. Terhambatnya perkembangan psikologis tentu menyulitkan siswa tersebut dalam belajar atau bersekolah. Maka stakeholders dalam lingkup sekolah harus memperhatikan faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan ini agar dapat mencegahnya, sehingga sekolah dapat kembali ke dalam fungsi yang seharusnya.

Kata kunci : faktor penyebab kekerasan, sekolah, pendidikan

Abstract

This paper aims to present the results of a literature review regarding the factors that cause violence in schools. Education in schools is considered indispensable for self-development, is currently experiencing a lot of problems including rampant violence in schools. The role of the teacher who works to teach and give a good example to the students, it becomes part of the perpetrators of violence against students. Students are supposed to learn a variety of knowledge and skills, some others apparently committing acts of violence against his own. The function of broadcast television, radio, as well as from internet and other communication media that is supposed to support student learning instead to show how common violence done to resolve the problem. Then the government should re-evaluate how the quality of education in Indonesia, especially concerning human resources that teachers and education personnel. A teacher should be able to be a role model for the students they teach because it is easy for students to emulate the example of the behavior of those around him. As a result of this violence is also dangerous for the development of such psychological or mental trauma and excessive fear. Inhibition of psychological development is certainly difficult for these students in learning or school. Then the scope of stakeholders in the school must consider any factors that can cause this violence in order to prevent it, so that the school can get back into proper functioning.

Keywords: the causes of violence, school, education

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan pembelajaran keterampilan, kebiasaan dan pengetahuan kepada sekelompok orang melalui pelatihan, pengajaran ataupun penelitian secara otodidak maupun di bawah bimbingan orang lain. Pendidikan dapat dilakukan sejak sebelum bayi dilahirkan, sejak dalam kandungan orang tua dapat mengajarkan melalui mendengarkan musik dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, sehingga anak-anak sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan semaksimal mungkin.

Pendidikan memiliki peran penting dalam mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki oleh individu. Sehingga manusia dapat mengembangkan hidupnya untuk kemudian bertahan hidup dengan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya. Pendidikan ini tidak hanya dari sekolah, melainkan juga dari orang tua, keluarga, tetangga, teman dan masyarakat.

Pendidikan juga berfungsi sebagai sarana untuk melestarikan kebudayaan  yang ada di wilayahnya. Dengan pendidikan pula, individu dapat memahami mengenai peranan sosial juga tentang kepribadian. Pendidikan memilii fungsi penting untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berkompeten. Oleh karenanya, pemerintah terus menerus memperbaiki tingkat pendidikan, karena jika pendidikan dapat berkualitas akan berefek positif pada perekonomian negara.

Sedangkan dalam tujuan pendidikan berdasarkan UU No. 2 tahun 1985 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan manusia yang seutuhnya dengan beriman dan bertakwa kepadda Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, memiliki keterampilan dan pengetahuan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mandiri serta rasa tanggung jawab sebagai masyarakat dan warga negara.

Pendidikan formal berupa sekolah, dimana sekolah merupakan tempat bagi individu untuk belajar. Sekolah dirancang untuk pembelajaran bagi siswa yang dilakukan di bawah pengawasan guru. Rangkaian sekolah ini adalah sekolah dasar (SD) untuk anak-anak muda usia 7-12 tahun, sekolah menengah pertama (SMP) untuk remaja usia 12-15 tahun dan sekolah menengah atas (SMA)/ Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/ Madrasah Aliyah Negeri (MAN) untuk remaja usia 16-18 tahun juga perguruan tinggi.

Dengan adanya sekolah maka individu dapat belajar untuk bersosialisasi, bekerja sama dalam kelompok, dan memahami peranan dirinya dalam kelompok. Dalam sekolah, individu dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan mulai dari bahasa, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu pengetahuan sosial.selain ilmu pengetahuan, sekolah juga mengajarkan mengenai keterampilan yang diajarkan melalui pembelajaran praktek.

Peranan sekolah dapat mengurangi beban orang tua untuk mengawasi anak-anaknya, karena saat di dalam sekolah, maka anak-anak akan menjadi tanggung jawab sekolah di bawah pengawasan guru, ini artinya guru merupakan orang tua kedua siswa di sekolah. Orang tua akan menyekolahkan anaknya menuju sekolah yang dianggap cocok untuk anaknya belajar.

Dengan orang tua menyerahkan anaknya untuk disekolahkan di tempatnya belajar, maka sekolah memiliki amanah untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan anak tersebut akan pembelajaran yang seharusnya. Komponen yang ada di sekolah mulai dari kepala sekolah, guru, staf tata usaha, laboran, pustakawan haruslah saling berkoordinasi untuk mengawasi dan mengatur siswa-siswinya.

Namun, akhir-akhir ini sekolah mulai kehilangan fungsinya sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk belajar akibat banyak terjadi kekerasan di lingkungan sekolah. Hal ini tentu merisaukan orang tua/ wali murid karena waktu siswa-siswi lebih banyak dihabiskan untuk bersekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2006 di beberapa daerah di Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan di sekolah dilakukan oleh guru terhadap siswanya.

Kekerasan menurut Stuart dan Sundaan (dalam Novitasari, 2015) adalah ungkapan permusuhan dan perasaan marah yang menyebabkan hilangnya control diri dimana individu dapat bertindak menyerang yang dapat melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Tetapi secara umum, kekerasan merupakan tindakan seseorang/sekelompok orang yang dapat menyebabkan cedera/ hilangnya nyawa seseorang / kerusakan fisik maupun barang orang lain.

Dalam data komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI), mencatat sepanjang januari 2011 sampai juli 2015 terdapat 1.880 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Dengan catatan pada 2011 terdapat 276 kasus tindak kekerasan di sekolah, kemudian meningkat pada 2012 menjadi 552 kasus. Dan menurun pada juli 2015, ada 220 kasus kekerasan di sekolah.

Kekerasan ini tidak hanya terjadi di antara guru dan siswa, melainkan juga terjadi di antara siswa itu sendiri. Guru terkadang berpikir menggunakan kekerasan masih cukup efektif untuk mengendalikan siswa, padahal dalam kenyataannya masih tersedia alternatif lainnya yang dapat dilakukan untuk mendisiplinkan siswa. Dengan cara kekerasan ini, siswa cenderung berpikir bahwa kekerasan adalah hal yang wajar dilakukan. Selain itu kekerasan ini dapat menimbulkan rasa trauma yang berkepanjangan pada siswa.

Ketika kekerasan ini terjadi maka kemungkinan akan mengakibatkan dua hal yakni, siswa menjadi trauma sehingga akan mempengaruhi psikologis juga akan menjadi takut untuk bersosialisasi dengan teman-teman di sekolahnya bahkan takut untuk bersekolah kembali. Sedangkan kemungkinan kedua adalah siswa tersebut menjadi kebal terhadap hukuman yang berupa kekerasan dan justru berpikiran bahwa kekerasan adalah hal yang wajar.

Dengan adanya kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa akan memberikan contoh yang buruk kepada siswa. Karena siswa dapat juga melakukan kekerasan itu kepada sesama siswa. Padahal cara ini bisa menyebabkan makin kebal terhadap hukuman ,trauma psikologis, atau siswa akan menyimpan dendam,, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat.

Kekerasan yang dilakukan oleh guru sebenarnya sangat perlu dipertanyakan, karena untuk bisa menjadi guru maka memerlukan pelatihan dan pendidikan minimal S1/D4. Maka sudah seharusnya guru memahami bahwa kekerasan bukanlah sebuah solusi, namun beberapa guru masih menerapkan kekerasan sebagai cara yang efektif untuk mengatur siswa. Maka, seminar dan pembinaan terhadap guru dan tenaga kependidikan mengenai tindakan mendisiplinkan dengan kekerasan ini perlu diluruskan.

Kekerasan yang terjadi pada siswa dapat berupa kekerasan fisik yang mengakibatkan luka atau cedera pada siswa, kekerasan psikis yang mengakibatkan turunnya rasa percaya diri, terhina, kecil, lemah, jelek dan tidak berguna. Juga dapat berupa kekerasan defensif yang dilakukan dalam rangka perlindungan bukan penyerangan dan kekerasan serta agresif yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti merampas.

Media komunikasi seperti televisi, radio serta internet saat ini juga meempengaruhi maraknya kasus kekerasan yang terjadi di sekolahan. Hal ini karena banyaknya siaran televisi seperti sinetron yang justru menampilkan tindakan kekerasan adalah hal yang wajar dilakukan ketika ada masalah. Ataupun mudahnya pengaksesan melalui internet oleh anak-anak sehingga mengakses hal-hal yang bersifat kekerasan dan pornografi.

Terkait dengan adanya penyelewengan fungsi dari media komunikasi yang seharusnya mendidik, beberapa kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan peringatan secara tertulis kepada beberapa sinetron maupun acara infotainment yang dikira salah dalam memberikan tontonan. Misalnya saja beberapa sinetron yang mendapatkan peringatan beberapa kali.

Lalu jika guru sebelumnya telah diajarkan bagaimana cara pengajaran yang baik, mengapa kekerasan ini masih terjadi wilayah sekolah yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran bagi siswa? Lalu apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh siswa? Hal tersebut dapat terjadi apabila ada yang mencontohkannya, maka lingkungan sosial sekitar di masyarakat dan media informasi seperti televisi dan internet dapat  menjadi hal yang mempengaruhi.

Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru kepada siswa ataupun oleh siswa terhadap siswa akan dijelaskan pada bab pembahasan. 

PEMBAHASAN

Kekerasan pada siswa merupakan suatu tindakan keras yang dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih mendisiplinkan siswa (Charters dalam Mutia, 2014). Kekerasan merupakan hal yang bersifat negatif karena dapat menyebabkan cedera/ hilangnya nyawa maupun kerusakan fisik dan barang orang lain. Kekerasan yang seharusnya tidak ada dalam ruang lingkup pendidikan, justru marak terjadi dan didominasi oleh guru itu sendiri.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh KPAI (komisi perlindungan anak Indonesia) menyatakan sebanyak 52% ibu dari murid merasa takut bahwa anaknya mengalami tindak kekerasan di sekolah. Tentu ini mengkhawatirkan orang tua karena seharusnya sekolah adalah tempat yang aman bagi siswa untuk belajar. Pelaku tindak kekerasan yang tidak memandang umur ini juga membuat orang tua selalu waspada terhadap siapapun, termasuk guru. Hal ini akan menyebabkan orang tua menjadi over protective kepada anaknya.

Pengaruh dari gadget dan televisi juga banyak mempengaruhi pola pikir anak, banyaknya berita, permainan, gambar, maupun video yang tidak sepantasnya dilihat justru menjadi bahan tontonan anak-anak. Hal itu bisa dilihat dari beberapa siswa-siswi SD yang suka beberbicara kotor, tidak sopan terhadap orang yang lebih tua dan permainan yang dibawa kemana-mana adalah handphone.

A. Faktor-faktor penyebab guru melakukan kekerasan pada siswa di antaranya adalah :

  1. Kurangnya pengetahuan yang dimiliki sebagian guru bahwa kekerasan fisik maupun psikis tidaklah efektif untuk mendisiplinkan perilaku siswa, malah hal tersebut beresiko menimbulkan trauma psikologis dan menyinggung perasaan siswa. Oleh karenanya pembinaan dan pelatihan guru sangatlah diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana suatu pembelajaran dapat dikatakan efektif dan baik.
  2. Adanya beban kerja dengan target yang harus dipenuhi oleh guru, baik dari segi kurikulum, pembelajaran juga prestasi sebagai output, namun kendala yang dihadapi cukup besar sehingga terasa sulit untuk mencapai target dan hasil yang maksimal. Guru banyak dituntut untuk menghasilkan murid yang berprestasi, sedangkan hal tersebt sulit diwujudkan ketika pembelajaran di kelas. Maka dari itu, guru lebih memilih sistem punishment dengan harapan siswa dapat kembali disiplin.
  3. Persepsi yang parsial terhadap siswa, artinya sebagian guru terkadang hanya menilai salah tidaknya murid hanya dari perilaku yang terlihat di luar, padahal seharusnya ia melihat lebih jelas apa permasalahannya hingga anak itu menjadi nakal.
  4. Pada sekolah-sekolah di wilayah 3T, sekolah memiliki keterbatasan dalam SDM juga sarana prasarana. Maka jarang ditemukan guru BK (bimbingan konseling) yang khusus untuk membina mereka. Ini artinya peran guru kelas menjadi bertambah, karena harus turun tangan untuk membimbing dan mengatur siswa. Agar efektif, maka penggunaan punishment berupa kekerasan dianggap mudah untuk dilakukan.
  5. Adanya masalah psikologis, atau beban mental yang dirasakan oleh guru tersebut entah masalah keluarga ataupun masalah dalam pekerjaan. Namun saat di kelas, pada pembelajaran emosi seorang guru haruslah dikontrol agar maksimal ketika memberikan pelajaran atau materi. Jika emosi dibawa hingga ke kelas, maka kekerasan dapat terjadi.
  6. Beberapa sekolah masih menerapkan pola pembelajaran authoritarian yaitu pembelajaran satu arah dari guru kepada siswa, hal ini tentu sangat membatasi siswa karena seharusnya sumber tempat belajaranya bukan hanya guru tetapi bahan ajar online dan sejenisnya. Dengan pola satu arah ini, maka siswa dianggap harus patuh kepada staf pengajar.
  7. Kurang memiliki kepedulian dan kesabaran ketika mengajar, hal ini bisa dibuktikan pada beberapa kasus yang terjadi di sekolah, akibat tidak mengerrjakan PR maka siswa dipukul dengan mistar kayu hingga cedera parah bahkan ada yang meninggal. Sudah sepatutnya, hal ini tidak dilakukan dan guru harus lebih pengertian terhadap siswa yang nakal.
  8. Guru kurang bisa menciptakan iklim yang menyenangkan saat belajar sehingga guru menjadi stress dengan perkembangan siswa yang stagnan. Oleh karenanya guru kembali menerapkan kekerasan sebagai senjata agar murid menjadi patuh dan aktif dalam belajar. Padahal, sistem punishment seperti ini hanya memberi efek jera di awal saja, jika terus menerus dilakukan maka murid dapat menjadi kebal terhadap hukuman yang diberikan dan tidak menghasilkan efek jera lagi.

B. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dari segi siswa itu sendiri :

  1. Cenderung mudah kehilangan konsentrasi dan fokus, karena di usia anak-anak jika menerima pelajaran yang terlalu lama dan membosankan murid cenderung akan mengantuk dan tidak memperhatikan pembelajaran. Hal inilah yang kemudiaan menyulut kemarahan dari guru yang mengajarnya.
  2. Sebagian cenderung memiliki perasaan sadomasochism, yaitu perasaan bahwa dirinya adalah orang yang lemah, tidak pandai, tidak berharga, tidak berguna, tidak dicintai, takut diabaikan dan kurang perhatian sehingga mereka tidak percaya diri atau tidak berusaha membela diri ketika diberi punishment bahkan dengan kekerasan.
  3. Memiliki orang tua yang kurang perhatian kepadanya, akibat masalah psikologis yang dialami oleh orang tuanya dalam kondisi yang berlarut larut. Misalnya orang tua yang mengalami stress berkepanjangan sehingga cepat marah-marah, tersinggung ataupun melakukan kegiatan bermalas-malasan tanpa memantau perkembangan si anak. Maka kepribadian yang terbentuk pada anak itu, akan kehilangan semangat, daya konsentrasi dan menjadi sensitif juga reaktif.
  4. Memiliki orang tua yang terlalu memanjakan anak-anak. Sehingga si anak secara mudah mendapatkan apa yang dia mau. Hal ini menyebabkan si anak menjadi tidak memiliki rasa kepedulian. Ia akan menjadi sosok individualis yang segala tuntutannya harus dipenuhi. Sehingga ketika di sekolah, ia akan menerapkan hal yang sama, orang-orang di sekitarnya harus melakukan apa yang dia mau. Ini adalah salah satu bibit kasus bullying dan dapat juga membuat guru emosi hingga mendapatkan perlakuan kekerasan.
  5. Sebagian murid lainnya yang memang memiliki sifat nakal karena terbentuk dari kebiasaan di lingkungan sekitarnya akan mencari perhatian sang guru, sehingga hal ini kembali membuat guru menjadi geram serta menggunakan kekerasan. Ataupun murid ini berasal dari keluarga disfungsional atau keluarga broken home yang anggota keluarganya sering memukul, menyiksa fisik atau emosi seta intimidasi. Keluarga yang terus menerus mengalami konflik berkepanjangan yang sama, tentu menguras pikiran si anak sehingga mempengaruhi kemampuan belajarnya juga kemampuan dalam bersosialisasi. Kebanyakan anak yang bermasalah saat di sekolah, saat di rumah juga memiliki masalah.
  6. Di rumah, tidak dapat belajar secara mandiri serta tidak ada tempat untuk bertanya mengenai materi yang diajarkan di sekolah ataupun PR yang diberikan. Guru seringkali memberikan tugas rumah yang cukup banyak, padahal sebagian murid masih belum paham dengan materi tersebut dan di rumah tidak ada yang bisa membantunya mengerjakan PR. Maka, ketika besok paginya ia kembali bersekolah, PR yang seharusnya sudah selesai dikerjakan malah belum dikerjakan sama sekali. Tanpa melihat apa alasannya yang dilihat oleh guru hanyalah dia belum mengerjakan PR dan akhirnya guru memberi sistem punishment pada muridnya.
  7. Terdapat juga siswa yang merasa tidak berhrga di kelas, karena guru telah melabeli dengan julukan anak kelas. Akibatnya dia akan melampiaskannya dengan menindas piha lain yang lebih lemah, untuk menunjukkan bahwa dia hebat. Kasus yang seperti ini termasuk ke dalam kasus bullying yang sangat diwaspadai oleh pemerintah.karena data kasus bullying yang ada begitu merusak moral anak bangsa. Kebanyakan dalam kasus bullying ini dilakukan oleh kakak kelas kepada juniornya karena kakak kelas merasa dirinya adalah senior yang harus dihormati dan lain sebagainya.
  8. Adanya persepsi bahwa kekerasan boleh dilakukan, hal ini akan tertanam oleh anak-anak ketika ia sering melihat kekerasan terjadi di lingkungan sekitarnya. Entah itu dari keluarga, masyarakat maupun dari media komunikasi seperti televisi dan internet. Anak yang sudah terbiasa hidup dengan kekerasan akibat pola kebiasaan dari keluarganya yang keras dan kaku maka ketika mendapatkan perlakuan kekerasan yang sama di sekolah, ia akan berpikir bahwa itu adalah hal yang biasa saja.
  9. Kurangnya pemahaman anak harus melakukan apa jika kekerasan telah dilakukan serta untuk menghindari kekerasan seksual bagian tubuh apa saja yang tidak boleh diperlihatkan pada orang lain. Disini peran orang tua dan pemerintah diperlukan, untuk menghimbau seperti apa pencegahan dalam kekerasan di sekolah.
  10. Kebiasaan anak-anak untuk menonton tontonan televisi yang tidak mendidik juga kebiasaan bermain gadget setiap saat sehingga kurang memahami ajaran yang disampaikan di sekolah. Televisi dengan beragam sinetron yang memeprlihatkan adegan perkelahian tentu tidak baik dijadikan sebagi tontonan se-usianya.

C. Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dari segi lingkungan sekitar:

  1. Mengalami sindrom Stockholm yaitu suatu kondisi psikologis dimana antara pihak korban dengan pihak aggressor terbangun hubungan yang positif dan later on korban membantu aggressor mewujudkan keinginan mereka. Contoh, kekerasan yang terjadi ketika mahasiswa senior melakukan kekerasan pada mahasiswa baru pada masa orientasi bersama terjadi karena mahasiswa senior meniru sikap seniornya dulu dan dimasa lalunya juga pernah mengalami kekerasan pada masa orientasi. Oleh karenanya, menyikapi hal ini MOS tidak lagi deselenggarakan oleh OSIS melainkan langsung diselenggarakan oleh pihak guru.
  2. Media komunikasi di lingkungan sekitar dari mulai dari televisi, radio dan via internet.
  3. Lingkungan yang sudah terbiasa dengan adanya kekerasan, seperti kehidupan anak jalanan yang sering mengemis atau mengamen sehingga terbentuk pula watak mereka menjadi sosok yang keras. Budaya kekerasan seperti ini erkadang terdapat pula pada adat-adat dalam suku bangsa di Indonesia, sehingga secara turun-temurun terus dilakukan dengan pandangan bahwa hal tersebut adalah hal yang harus dilestarikan oleh masyarakat sekitar.

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan diatas, sebanyak 80% tindak kekerasan dilakukan oleh guru sedangkan sisanya dilakukan oleh siswa terhadap siswa lainnya. Guru tidak dianjurkan untuk melakukan tindak kekerasan pada siswa karena hanya akan membawa dampak yang negatif. Anak-anak mengambil contoh dari lingkungan sekitarnya termasuk keluarga dan masyarakat sekitar, apabila anak-anak sering melihat tindak kekerasan dilakukan di sekitar rumah atau sekolah, maka anak-anak akan berpikir tindak kekerasan boleh dilakukan. Pengaruh dari media komunikasi seperti televisi dan internet juga sangat berpengaruh terhadap maraknya kasus kekerasan ini. Mudahnya anak-anak dalam mengakses internet tentang pornografi maupun perkelahian dapat membuat pola pikir anak menjadi negatif. Tindakan kekerasan ini selain dapat menyebabkan cedera pada siswa, dapat menyebabkan gangguan psikologis seperti trauma. Tentu hal ini perlu diwaspadai oleh seluruh orang tua dan wali murid.

B. Saran

Saran yang disampaikan penulis setelah menganalisis melalui kajian pustaka mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan di sekolah adalah sebagai berikut :

1. Bagi Pemerintah dan Dinas Pendidikan

  • Perlu adanya pengawasan dari lembaga pemerintah untuk mengawasi setiap sekolah yang ada di daerahnya agar tindak kekerasan dapat diminimalisir.
  • Perlu diadakan survey lebih lanjut pula di setiap sekolah, apakah terjadi tindakan kekerasan di dalam proses pembelajaran.
  • Pemerintah perlu mengadakan seminar-seminar mengenai bahaya kekerasan pada anak-anak kepada stakeholders di sekolah termasuk guru dan orang tua.

2. Bagi Kepala Sekolah

Peran kepala sekolah sangat diperlukan untuk mengawasi secara langsung bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa. Karena jika terjadi tindak kekerasan untuk mendisiplinkan siswa, kepala sekolah dapat langsung menindak tegas ataupun memperingatkan guru tersebut.

3. Bagi Guru

Guru hendaknya memberikan tauladan yang baik kepada siswa dalam berperilaku. Tindakan kekerasan sangatlah tidak dianjurkan untuk dilakukan sekalipun terhadap murid yang nakal. Karena masih terdapat beragam alternatif lain yang dapat dilakukan oleh guru untuk mendisiplinkan siswa, salah satunya adalah fungsi dari guru BK (bimbingan konseling).

4. Bagi orang tua/ wali murid

Perlu mengawasi dan membatasi anak-anak dalam melakukan pergaulan baik secara langsung maupun lewat dunia maya. Penggunaan gadget dan tontonan televisi juga perlu dipilihkan yang mendidik.  


DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. 2016. Pendidikan (Online), (https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan, diakses 20 desember 2016)

Wikipedia. 2016. Sekolah (Online), (https://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah, diakses 20 desember 2016)

Siana. 2015. Pengertian, tujuan dan manfaat pendidikan (Online),           (http://www.artikelsiana.com/2015/08/pengertian-pendidikan-tujuan-manfaat.html, diakses 20 desember 2016)

WordPress. 2010. Faktor-faktor penyebab kekerasan pada siswa (Online),           (https://ideguru.wordpress.com/2010/04/25/faktor-faktor-penyebab-kekerasan-pada-siswa/, diakses 20 desember 2016)

Larasati. 2015. Pola asuh kekerasa yang terjadi di sekolah (Online), (http://ibudanmama.com/pola-asuh/kekerasan-yang-terjadi-di-sekolah/, diakses 21 desember 2016)

Dina. 2014. Pengertian dan bentuk bentuk kekerasan (Online),           (http://rangkumanmateriips.blogspot.co.id/2014/10/pengertian-dan-bentuk-kekerasan-sosial.html,diakses 21 desember 2016)


Berikut ini link untuk mengunduh file diatas 🙂

Oleh istighfarahmq

Istighfarah Mardiyanah Qadarisman, S.Pd.
Lulusan S1 Manajemen Pendidikan - Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan komentar